Sabtu, 10 November 2012

Lawakan Banyumasan sing perlu di lestarikna


Revitalisasi “Dagelan” Banyumas

Oleh Teguh Trianton
Dagelan merupakan salah satu akar tradisi yang menjadi bagian dari karakter atau watak wong Banyumas. Tradisi ini melengkapi karakter lain, seperti cablaka (transparan), apa adanya, egaliter, dan glogok sor atau suka mengumbar ukara (ucapan). Dagelan sesungguhnya merupakan salah satu bentuk sastra lisan tertua di Banyumas, di samping Dalang Jemblung. Keberadaan seni Dagelan setali tiga uang dengan seni Dalang Jemblung. Keduanya nyaris punah tergerus modernisasi.
Dagelan berasal dari kata ndagel yang artinya melucu, sehingga Dagelan diartikan sebagai lelucon atau tingkah yang mengundang dan mengandung tawa. Dagelan biasanya menjadi salah satu fragmen yang ditunggu penonton dalam pentas Pakeliran Gragag Banyumasan. Dagelan juga bisa dipentaskan secara terpisah “dari pertunjukan wayang” dalam bentuk tunggal seperti seni Ludruk di Jawa Timur atau Lenong di Betawi.
Seni Dagelan pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun 1990. Saat itu di Banyumas terdapat satu grup Dagelan yang cukup melegenda. Grup lawak ini bernama Peang-Penjol dan Suliyah. Dalam banyolan atau lawakannya tokoh Peang-Penjol dan Suliyah ini sebenarnya tengah memainkan karakter wong Banyumas asli. Karakter yang juga melekat pada tokoh Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas yang biasa muncul dalam seni Pakeliran Banyumasan.
Baik Peang-Penjol dan Suliyah maupun Bawor sebenarnya merupakan metafora, sublimasi dari kondisi masyarakat Banyumas. Humor-humor segar mengalir tanpa beban dari tokoh-tokoh tersebut. Dengan bahasa- dialek-Banyumas-ngapak-yang kental, isu-isu kontemporer kala itu menjadi bahan lawakan.
Berbagai isu sosial yang terjadi saat itu diramu dan ditanggapi secara cablaka dalam perspektif wong Banyumas. Yang timbul kemudian adalah bukan sekadar kelucuan, tetapi di dalamnya terkandung wacana kritis, pendidikan moral, dan nilai-nilai kearifan lokal.
Religiositas
Dus, apa yang dipertontonkan sebenarnya tak sekadar guyon yang hanya mengundang tawa, melainkan pendidikan budi pekerti yang disampaikan secara segar. Dagelan sebenarnya adalah seni mengkritik, mengingatkan, mendidik, menerjemahkan, atau mengejawantahkan perilaku pemimpin dan masyarakat yang dipimpin.
Nah, di sinilah letak religiositas yang menjiwai dagelan. Meski terkesan vulgar, tanpa tedeng aling-aling dan cenderung kasar, tetapi lakon-lakon yang diperankan dalam seni Dagelan sesungguhnya bermuatan nilai-nilai religious.
Religiositas ini diadaptasi dari kata religiosity dalam The World Book Dictionary, yang berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan meliputi segala perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan, seperti perasaan takut berbuat dosa, perasaan kejujuran, dan sebagainya.
Dengan demikian, bentuk-bentuk kritik yang disublimasikan dalam dagelan sebenarnya merupakan religiositas. Sindiran-sindiran atau humor satir yang dituturkan dalam dagelan merupakan elan religiositas. Lantaran pada hakikatnya dagelan mengajarkan moral sambil menghibur, mengkritik tanpa menyakiti, mendidik dengan senyuman.
Namun, pada puncaknya, dagelan sesungguhnya merupakan bentuk katarsis. Dagelan tanpa disadari tengah mengajak penonton menertawakan dirinya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari wong Banyumas kontemporer, seni tradisi ndagel ini sudah luntur. Dagelan telah kehilangan gereget dan rohnya. Seni Dagelan telah kehabisan momen untuk tampil. Faktor penyebabnya ada dua. Pertama hadirnya humor-humor populer yang menyerbu ke ruang-ruang pribadi keluarga melalui pesawat televisi. Kedua, semakin mengecilnya frekuensi dan ruang publik untuk pementasan seni hiburan rakyat.
Untuk faktor pertama ini sangat jelas hubungannya dengan industri hiburan (entertainment) dan kepemilikan modal. Yang memiliki kekuatan untuk meminimalkan adalah penguasa (pemerintah) melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Atau kekuatan (pemilik modal) lain yang seimbang yang beriktikad baik memberikan pendidikan melalui tayangan edutainment. Atau dengan membuat tayangan yang sepadan, tetapi lebih menonjolkan moralitas ketimbang sekadar kelucuan yang slapstik.
Nah, minimnya tayangan hiburan yang mengandung unsur pedidikan ini menjadi alasan betapa pentingnya revitalisasi seni tradisional seperti dagelan di Banyumas.
Revitalisasi
Untuk mengatasi faktor kedua, dapat dimulai oleh lembaga pemerintahan dan swasta. Misalnya dengan mengundang grup dagelan sebagai pengisi acara hiburan dalam momen perayaan ulang tahun lembaga, pisah-sambut pejabat, silaturahmi, atau momen lain yang memungkinkan digelarnya hiburan.
Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus rela dicap sedikit jadul dengan menyuguhkan seni tradisi ini. Lembaga juga harus rela menahan sedikit hasrat untuk menampilkan hiburan lain yang lebih modern, seperti panggung karaoke, organ tunggal, dan band. Atau mengolaborasikan dua jenis hiburan tersebut dalam satu panggung.
Jika lembaga-lembaga resmi itu telah memberikan contoh bagaimana menghidupkan kembali seni tradisi yang nyaris punah, maka pada gilirannya masyarakat juga akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat akan berpikir untuk menggelar pertunjukan dagelan pada acara hajatan daripada mengundang pemain organ tunggal.
Dengan pola semacam ini revitalisasi seni tradisional dagelan dapat berjalan dan dengan sendirinya nilai-nilai atau pesan moral (religiositas) yang terkandung di dalamnya dapat disampaikan. Sehingga, masyarakat tidak hanya mendapat hiburan segar, melainkan juga mendapat pendidikan moral.
Teguh Trianton Peminat Seni, Staf Edukatif SMK Widya Manggala Purbalingga

Punten durung bisa nyerat dewek sesuk tek usahakna nyerat dewek sekang informasi langsung kambi wonge sing ngelakoni
muga-muga kesampean Aamiin..

admin asep Saefudin (Armada Pandawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar